Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sobirin Tinggalkan Cita-cita Hidup di Kota Demi Gula Kelapa

Ahmad Sobirin saat menerima penghargaan dario Astra.
SESAMPAINYA di kampung halaman, Akhmad Sobirin merasa bahwa pulang kampung adalah keputusan yang sungguh tepat. Hal itu ia rasakan setelah kembali menyadari ironi-ironi yang ada di desa asalnya.
Mayoritas penduduk dari Desa Semedo memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Banyak dari mereka yang berpikir bahwa sekolah tinggi-tinggi tak ada gunanya karena nantinya mereka akan kembali bekerja di ladang.
“Bahkan yang berkuliah di UGM hanya dua orang thok, lho. Teman saya ada yang masuk jurusan pertanian, tetapi dia akhirnya bekerja di bank. Sudah gitu kebanyakan anak muda di desa saya memutuskan untuk merantau, kerja di luar kota. Akhirnya desa saya ya tetap tertinggal,” jelasnya.
Nasib para petani gula kelapa pun tak bisa dibilang sejahtera meskipun desa tersebut terletak di Banyumas, penghasil gula kelapa terbesar di Asia. Pasalnya, dalam memproduksi gula cetak, mereka masih bergantung pada tengkulak.
Para petani dengan sistem ijon juga menjadi korban dari pengusaha yang  meninggikan harga beli. “Akhirnya saya berpikir, kalau semua pemuda di desa saya merantau ke luar kota, nanti siapa yang melanjutkan mengerjakan sawah dan gula? Dari situlah saya bertekad untuk belajar otodidak tentang gula,” ujar Sobirin.
Melihat kenyataan itu Sobirin memutuskan untuk melupakan semua cita-citanya di kota. Ia mulai mempelajari tentang gula kelapa melalui petani-petani di desa Semedo dan juga kedua orangtuanya yang berprofesi sebagai petani.
Ia berniat untuk menghimpun para petani gula di desa Semedo dan memberi mereka pembinaan kelompok tentang bagaimana cara membuat gula semut dan meningkatkan kualitasnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh dirinya yang mengetahui informasi dari internet terkait gula semut. Ia menemukan fakta bahwa gula semut memiliki pasar ekspor yang menjanjikan.
“Awalnya saya ingin masuk ke dunia bisnis gula semut itu bingung gimana caranya. Apalagi kendaraan belum punya juga. Saya sudah pembinaan ke petani tetapi belum mulai bisnisnya. Saya sempat berbisnis jamur tiram. Tapi ya Alhamdulillah pada tahun pertama, collapse,” ujarnya sambil tertawa.
Usaha Sobirin untuk mengajak para penderes bergabung dengan kelompok pembinaannya tak bisa dibilang mulus. Ia dihadapkan pada pola pikir para penderes yang bertahan pada kondisi nyaman serta tidak memikirkan nasib mereka dalam jangka panjang. Akhirnya Sobirin pun menemui kendala ketika dirinya berusaha merangkul para penderes dalam kelompok binaan gula semut.
“Masih banyak penderes yang berpikir, ‘Lah, ngapain susah-susah kumpul kelompok? udah capek-capek di ladang terus malamnya harus rapat kelompok bahas ngalor ngidul gak jelas.’ begitu,” papar Sobirin menirukan para penderes pada saat itu.
Tak hanya para penderes yang meragukan usahanya untuk memakmurkan Desa Semedo, bahkan sang keponakan pun sempat sangat mencemooh usahanya tersebut. Ia kemudian menirukan ucapan sang keponakan pada saat itu, “Lah, ngapain bikin kelompok seperti itu? Paling cuma berapa bulan juga udah bubar,” kenangnya.
Namun semua cemoohan itu tak lantas membuat Sobirin patah arang. Ia begitu ingin bisnis gula semut yang akan dijalankannya tak hanya menguntungkan dirinya seorang namun juga meningkatkan kesejahteraan penduduk Desa Semedo. [KR Jogja]

Post a Comment for "Sobirin Tinggalkan Cita-cita Hidup di Kota Demi Gula Kelapa"