Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengerti Dulu, Bertindak Kemudian

Hanya orang gila yang mau melakukan apa yang dilakukan Muhammad. Begitu komentar orientalis tentang pilihan hidup Rasulullah SAW. Dalam bahasa kita, hanya orang yang yakin, yang mau dan berani mengambil peran seperti Rasul. Bagaimana tidak, seorang diri awalnya, melawan sebuah sebuah tatanan yang ratusan tahun terwariskan dari nenek moyang: paganisme. Mending kalau untuk dirinya sendiri, pria terhormat dari kaumnya itu bahkan mengajak orang lain untuk melakukan ‘perlawanan’ serupa. Tak ayal, konflik lasimetris dimulai dari sini.

Ajakan itu terus menggema, sampai ke ruang kesadaran seorang pemuda kaya lagi rupawan: Mus’ab bin Umair. Itulah yang tak dimengerti banyak orang, termasuk ibunya. Bagaimana bisa pemuda dengan masa depan cerah, idaman para gadis, memutuskan untuk meninggalkan segalanya, siap menjadi bukan siapa-siapa di tanah asing, Yatsrib. Hari-harinya kemudian adalah penghambaan, jauh dari dunia yang hingar bingar.

Apa yang memberanikan Muhammad saw? Apa yang menggerakkan Mush’ab? Keyakinan! Mungkin begitu jawaban pendek kita. Tapi dari mana datangnya keyakinan? Para pakar sosial menyebut, pemahaman lah yang menjadi hulu segala tindakan. Itulah tindakan sosial, dalam istilah Max Weber, yakni tindakan yang lahir dari pemaknaan tertentu. Dari sinilah lahir banyak analisis tentang perilaku manusia, terutama yang berkisar pada dimensi makna, simbol, dan kesadaran.

Hasan Albana pun menempatkan al fahm pada rukun pertama baiat. Semua berangkat dari pemahaman. Tanpanya, orang tak mungkin bisa ikhlas, beramal, berjihad, berkorban, teguh, atau taat. Itulah kenapa wahyu pertama juga diawali dengan iqra! Bacalah! Pahamilah! Dalam konteks inilah, kita pahami relevansi dakwah dan tarbiyah. Dari ruang-ruang kecil, dari forum-forum sederhana, ikhtiar membangun pemahaman berjalan. Dari berbagai buku dan referensi lain orang berbagi pengetahuan, untuk menanamkan pemahaman.
Tapi kenapa ruang-ruang sederhana itu kini seperti kehilangan gairah? Mungkin tidak semuanya. Ada beberapa yang merasakannya, sehingga ada halaqoh yang jarang sekali penuh oleh anggotanya. Ada yang lama tak halaqoh tetapi merasa tenang-tenang saja. Ada yang bahkan terang-terangan mengajukan cuti (atau berhenti sama sekali) untuk tidak ikut halaqoh lagi. Ah, jangan-jangan ada pemahaman yang berubah dari keberadaan ruang pembinaan ini. Pemahaman mereka tentang sarana untuk menanamkan pemahaman itu bisa jadi telah bergesar.

Apapun tindakan yang menjadi pilihan, semua berangkat dari ruang kesadaran masing-masing: apa yang sesungguhnya mereka pahami, mereka pikirkan, dan mereka rasakan. Ketidakhadiran atau kenyamanan dalam kesendirian pada dasarnya adalah gejala semata, sebagaimana panas atau pusing sebagai symptom sebuah penyakit tubuh. Maka, untuk membuat sebuah solusi, kita harus bertemu dengan akar masalahnya.

Di sinilah perlunya refleksi: apa yang sesungguhnya terjadi? Kita perlu sejenak berpikir, untuk menemukan dan mengidentifikasi akar masalah. Kita perlu masuk ke ruang kesadaran saudara-saudara kita, untuk melihat apa yang sesungguhnya dia rasa dan pikirkan. Dengan begitu, semoga kita tidak gagal paham.

Purwokerto, 22 Februari 2016
Oleh Ayah Ica

Post a Comment for "Mengerti Dulu, Bertindak Kemudian"